Rabu, 03 September 2008

SAJAK BUKAN UNTUK DIRIMU



sajak ini bukan untuk dirimu!!

sajak ini untuk seseorang yang tidak menyukai sajak,
karena sejak sajak dibangun petak-petak rumah retak,
telah dijanjikannya jantung yang tak berhenti berdetak

sebuah janji yang di dalamnya tak ada kata-kata luka,
bayang-bayang paling miris diantara hujan rimis,
atau serbuk mimpi sebagai bunga tidur yang abadi

sebab kata-kata sibuk dengan jejak kaki-kaki sendiri,
hingga pohon jeruk di seberang jalan tidak kentara;
kuat akarnya, kokoh batangnya, dan manis buahnya

(2008)

RUMAH KENANGAN

karena terjadi serangkaian perang sudara,
kita musti melambai tangan dan saling mencipta
rumah kenangan di tiap-tiap rongga dada

dada kiriku kubangun sebuah rumah sederhana
tempat istirah saat lelah menguasai aliran darah
kulengkapi sebuah kapal cepat menuju penjara
tempatku melarikan diri sekali lagi dari surga

dada kananku kubangun sebuah rumah makan
kugunakan jika lapar menyerang seluruh pikiran
menu sehari-hari sepiring caci maki dan sebaki
air mata untuk mencuci tangan setelah kenyang

diantara dada kiri dan kananku kubangun sekat
dari jalinan bambu yang mengeras menjadi batu
entah berapa lama tetap bertahan, dari gempuran
rindu yang terus menghantam dari kiri dan kanan

sempurnalah rongga dadaku terbangun petak-petak
rumah kenangan, hingga tak ada celah sedikit saja;
sekedar lubang intip untuk mataku yang mulai rabun;
apakah segumpal hatiku telah menyimpan racun?

(2008)

BUAH MANGGA SISA DI DEPAN RUMAH

setelah lelah kita pulang ke masing-masing rumah
rumahmu dan rumahku yang cuma bersebelah
rumah kita hanya dipisahkan jalinan papan kayu
yang mengeras dan berubah jadi tembok batu

di depan rumahku kutemukan pohon mangga
yang berbuah meski tidak sedang musimnya
suatu saat nanti jika kau mampir, akan kugebyah
pohon itu dan kurebah segala buah yang belah

ingatkah dulu pohon mangga itu belumlah tumbuh
sebelum kau datang mengajakku melangkah jauh
melewati kelak-kelok jalan lika-liku luka yang penuh
hingga rupa-rupa pakaianku berubah warna lusuh

kini saat musim buah hampir tiba, kau belum juga
tiba di depan rumah untuk sekedar bertegur sapa
anehnya pohon mangga itu malah ranggas daunnya
hingga satu buah yang tersisa kumakan sendiri saja

maukah kau tahu bagaimana rasa buah sisa?
aduh, mampus, sungguh masam tidak terkira
tapi tetap saja kutelan sepotong demi sepotong
karena kutahu, air mata tidak bisa menolong

(2008)

Rabu, 25 Juni 2008

Rasa kenangan

Seperti sebuah es krim yang punya banyak rasa. Kenangan memiliki banyak rasa pula. Jika es krim memiliki rasa coklat, vanila, strowbery, anggur, jeruk, dan lainnya, kenangan memiliki rasa yang lebih bervariasi, tergantung bagaimana Anda merasakannya. Saya suka menyeruput es krim rasa jeruk, tapi kenangan, ah, rasa-rasanya rasa apa saja tidak menarik hati saya. Tapi sebagaimana banyak orang lain yang menganggap hidup ini lebih banyak tidak menariknya, saya mesti pula merasakan kenangan. Bagi saya kenangan tidak enak. Entah bagi Anda. Makanya mari berbagi. Saya sedikit akan membagi kenangan yang tidak enak itu.


***


Layar monitor di hadapan saya bergetar sebentar. Ruangan praktikum yang berisikan belasan personal komputer itu mendadak seakan berhenti sejenak dari aktifitasnya. Saya yang sedang praktikum digital berhenti sejenak pula dan mengalihkan pandangan ke HP yang tergeletak di atas meja, di samping monitor komputer. Benar juga, ada SMS masuk. HP sengaja saya silent, sedang getarnya sudah lama mati. Andai perubahan frekuensi sinyal HP tidak menganggu frekuensi layar monitor, saya tidak bakal sadar ada SMS masuk.


Ta’ akhrny aq yg dluan sms km. gmn jln2nya? ta, aq mo tny cra nglupain org & nglangin rsa ma org. jjr aq g bs nglangin rsa ma A. rsQ k B bd bngt ma prsaanQ ma A..


Dan Masya Allah, di inbok tertulis nama pengirimnya: Cel. Saya tidak akan banyak bercerita siapa dia, mungkin Anda tidak kenal, dan saya tidak akan memaksa Anda untuk mengenalnya. Tapi begini saja, agar Anda tidak bingung dan merasa gothang saat membaca cerita ini, saya buatkan sedikit pengantar.


Cel adalah nama panggilan yang saya berikan untuk seorang perempuan yang sejak SMA saya rasa paling ‘dekat’ dengan saya. Bukan dalam arti fisik, tapi dalam konteks ‘batin’. Banyak hal yang tidak pernah saya ceritakan ke orang lain, tidak pernah saya singgung-singgung, selalu saya tutup-tutupi, entah kenapa saya ceritakan padanya. Boleh dikata, dia adalah salah satu ‘pemegang kunci’ dalam hidup saya. Meski dalam beberapa bulan (atau tahun?) terakhir kami jarang berkomunikasi. Dikarenakan kesibukannya atau keengganannya berbincang dengan saya, entahlah. Hingga dua hari yang lalu, hampir tengah malam, datang SMSnya membawa pesan: tanya kabar dan basa-basi lainnya (termasuk pengakuan bahwa saya ngangeni juga. Emang!). Saya yang sedikit jengkel diganggu saat sedang nulis puisi, ditambah ketidakhadirannya pada beberapa acara penting teman-teman kami, termasuk lupa (atau melupakan) mengucapkan sekedar sepotong dua potong kata-kata selamat pada hari ulang tahun saya, membalas SMS itu dengan malas-malasan (maafkan!!), dan keesokan harinya ritual kirim-mengirim SMS antara saya dan dia diakhirinya dengan kalimat: mungkin kita memang belum saatnya bertemu, semoga ketemu lagi, entah di lain hari, bulan, bahkan tahun. Dan secara serampangan saya menambah dengan: ya, entah di lain windu, dekade, abad, bahkan tidak sempat ketemu sama sekali. Duh!


Tapi hanya dua hari setelah SMS pagi itu, tepatnya pagi tadi, saat saya sedang mengumpulkan sisa-sisa ingatan tentang kuliah yang berhubungan dengan praktikum, dia melanggar janji itu: dia mengirim SMS yang isinya telah saya tuliskan di atas. Sepintas saya merasa senang telah mengalahkan ‘pertaruhan’ itu, tapi kemudian saya menjadi bingung harus membalas apa. Akhirnya diantara kebingungan ‘membuat peta’ dan ‘membalas SMS’, saya kirimkan balasan, sekaligus janji, saya akan melayani pertanyaan-pertanyaannya itu sehabis magrib. Dia setuju. Ah, selamat! Saya dapat perpanjangan waktu..


***


Kini saya sedang menghadapi layar komputer. Bukan layar komputer di ruang praktikum, tapi layar komputer di kamar saya. Sehabis praktikum tadi, saya buru-buru pulang dengan pikiran penuh: hasil praktikum yang ‘entahlah’, dan janji membalas SMS Cel. Sebelum saya membalas SMSnya, lebih baik saya menuliskan dahulu jawaban SMSnya tadi pagi di komputer, pikir saya. Dan itulah yang saya lakukan. Sore ini.


Pertama mari kita cermati isi SMS itu. Beberapa rangkaian pertanyaan yang dapat disederhanakan menjadi tiga hal: bagaimana jalan-jalannya, bagaimana cara menghilangkan perasaan (suka? cinta?) kepada seseorang di masa lalu, dan (kenapa?) ada perasaan yang beda antara perasaannya kepada A dan B. Saya sengaja tidak menyebutkan nama di sini, kerena saya menghargai privasi teman saya itu. Jujur saya tidak begitu mengenal dua orang yang disebutkannya, tapi minimal saya tahu sedikit-sedikit. A adalah pacar lamanya, dan B adalah pacarnya sekarang. Sekarang, marilah kita jawab satu per satu.


Bagaimana jalan-jalannya? Dalam SMS pertama dua hari yang lalu, saya memang menyebutkan bahwa besok (artinya kemarin) akan jalan-jalan ke FKY di Benteng Vredeburg. Dan jawaban saya adalah: gak usah dibahas. Tidak ada sesuatu yang bisa saya ceritakan kepadanya, dan bilapun terpaksa saya ceritakan hanya merupakan nostalgia yang menjemukan (dan menjengkelkan :p )


Nah, pertanyaan yang kedua adalah hal yang paling menarik: bagaimana melupakan atau bahkan menghilangkan perasaan (suka? cinta?) kepada orang yang pernah kita cintai.


Pertanyaan itu sepertinya klise, tapi memang begitulah yang sering terjadi di dunia asmara. Saya yakin Anda pernah mengalaminya, karena saya juga pernah. Jika ditelaah lebih jauh, pertanyaan itu memiliki dua hal yang bertolak belakang, seperti tesis dan antitesis, yaitu perasaan mencintai dan perasaan tidak ingin mencintai. Bagaimana mungkin kita memaksa perasaan untuk tidak mencintai orang yang kita cintai. Aneh bukan? Tapi lagi-lagi, itulah yang sering terjadi. Dunia! Apa yang tidak aneh di dunia ini?! Hal seperti itu seperti analogi: saya ingin mengirim surat ke seseorang, tapi saya tidak ingin orang itu membacanya, atau dibalik: saya ingin seseorang membaca surat saya, tapi saya tidak ingin mengirimkannya. Bagaimana bisa? Nah, nyatanya bisa, dan faktanya: banyak!


Cinta, seperti juga kata Alif lam mim dalam Al Qur’an, adalah misteri dunia. Misteri yang telah dicoba dipecahkan para filsuf-cendekia-pakar, mulai jaman Aristoteles hingga jaman Cristiano Ronaldo. Tapi apa yang didapat? Kata-kata agung, tips-tips romantis, kiat sukses, yang dibungkus dalam keranjang cantik, yang ternyata isinya kosong. Melompong. Saya ingat salah satu ungkapan tentang cinta: ingin memahami cinta, ikutilah jalan cinta.


“Praktek Mas, praktek!”, saya teringat kata-kata simbok bakul jamu yang kebetulan pernah saya temui sedang bercas-cis-cus melayani pembeli bule. “Saya ndak sekolah, tapi sedikit-sedikit bisa ngomong Inggris karena praktek”, tambahnya. Luar biasa, hebat! Empat jempol buat simbok itu. Seperti pula saya yang tidak mampu menyelesaikan praktikum dengan baik, meski sudah dicekoki ribuan teori oleh para dosen jenius, ya karena jarang praktek. Luar biasa….memalukannya! Empat pantat nungging buat saya.


Begitu pula dengan cinta: jalanilah cinta dan suatu saat kamu akan memahaminya. Dan jalan cinta tidak semulus jalan tol, bung! Dia kadang berbelok, kadang terjal, kadang berbatu, kadang berlobang-lobang, wah macam-macam saja rintangannya. Tapi itulah, kita akan merasa sangat puas jika sampai tujuan dengan selamat setelah melewati semuanya. Kalau mulus-mulus saja, jangan-jangan kita merasa kecewa setelah tahu tempat yang kita tuju ternyata cuma begitu-begitu aja.


Seperti saya yang tidak pernah kecewa dengan aktifitas mendaki gunung, meski di puncak tidak mendapatkan panorama indah yang sebelumnya saya bayangkan. Bukan puncak gunungnya yang saya cari, tapi jalan yang terjal, jalan setapak diantara jurang, batu-batu bergeletakan di sepanjang jalur pendakian, panas matahari membakar kulit, dingin malam menusuk tulang, dan hal-hal berat lainnya. Artinya saya tidak terlalu mengejar puncak, mengejar hasil, jika ternyata puncaknya indah, ya itu dianggap bonus saja, kalau tidak indah ya tidak usah kecewa. Proses kadang lebih penting, dan lebih indah dibanding hasil. Begitu kan?


Hmm.. saya terlalu jauh ya dari pertanyaan di atas? Saya memang sengaja memutar agak jauh, membicakan cinta dulu, membicarakan tidak enaknya cinta, baru akan membahas lebih dalam bagaimana jika kita merasa mencintai seseorang yang tidak ingin kita cintai tetapi ternyata kita mencintainya. Ya seperti analogi saya dengan gunung: anggap saja sebagai proses. Anggap saja sebagai bahan pertimbangan. Nah, jika Cel merasa masih memiliki rasa (suka? cinta?) kepada A meskipun saat ini dia telah memiliki lelaki lain di sampingnya (B), maka anggap saja sebagai sebuah proses. Lagi pula, status pacar tidak mengikat kita untuk tidak mencintai orang lain selain pacar kita bukan? (Ini bukan semacam pembenaran selingkuh, atau penghalalan penghianatan komitmen pacaran). Beda kalau sudah menjadi isteri/suami, yang memiliki status pernikahan sebagai landasan ikatan yang kokoh, meskipun menyukai orang adalah hak –termasuk menyukai orang selain suami/isteri kita- rasa suka tersebut tidak seharusnya ditunjukkan (apalagi dilakukan). Lalu, jika masih dalam tahap pacaran, tahap penjajakan, apa salahnya? Toh janji setia kepada pacar, tidak dicatat malaikat seperti janji pernikahan yang harus dipertanggungjawabkan kepada Tuhan. Tentu saja dengan komunikasi yang ‘baik-baik’. Dan apabila harus berpisah, juga berpisah dengan ‘baik-baik’.


Saya sebagai orang luar dalam masalah ini, mengganggap cinta (‘segitiga’?) semacam ini adalah hal yang wajar. Jamak. Dan tidak usah dibikin pusing. Hari gini mikirin cinta-cintaan model gini dengan berdarah-darah? ABCD: Aduh Bo’ Cape’ Deh.


Kemudian tentang kenangan. Saya yang sok tahu mengkait-kaitkan masalah ini sedikit banyak bersinggungan dengan kenangan. Apakah kenangan? Kenangan adalah kotak sejuta kemungkinan. Di dalamnya ada hal-hal yang serba mungkin. Ada percampuran cerita-cerita sedih dan senang. Saya kadang salah menarik kenangan dari lokus-lokus ingatan. Jalan ingatan..Ufh..Menyesatkan.


Seseorang mungkin mencintai seseorang yang pernah dicintainya karena aura ini. Aura kenangan. Ingatan tentang kenangan yang senang-senang membuat kita kangen, ingatan tentang kenangan yang sedih-sedih juga membuat kita kangen. Kalau sudah kangen-kangenan (tapi bukan Kangen Band, lho) ya lagu-lagunya ya cinta-cintaan. Kalau sudah cinta-cintaan, lalu…


Kenangan juga salah satu yang menggetarkan. Sesuatu yang berjarak. Dipisahkan waktu yang membentang di belakang kita. Antara kita dan kenangan terdapat jarak yang kadang-kadang bisa sangat pendek, juga bisa sangat panjang. Kenangan tentang seseorang yang pernah spesial di hati kita, biasanya termasuk jenis ingatan pendek. Ingatan yang mudah diingat. Ingatan mudah muncul kembali ketika kita melihat benda-benda yang mengingatkan kita pada seseorang itu. Pasangan yang dipertemukan di bioskop kemungkinan besar mengingat tentang pertemuan itu saat pelakunya memasuki bioskop, malah sekedar melihat pintu bioskop dari jauh, malah sekedar melihat papan reklame film-film, malah sekedar mendengar judul film, malah sekedar mendengar kata film.. Kalau saya sih, ingat seseorang yang pernah saya cintai ketika melihat toilet.. (hah..maksud lu?)


Saya mengutip kata-kata Puthut EA dalam buku kumpulan cerpennya: Isyarat Cinta Yang Keras Kepala. Puthut dalam salah satu cerpenya mengatakan, bahwa seseorang dalam menjalani hidupnya tidak hanya ditarik masa depan, tapi juga didorong masa lalu. Kenangan, ingatan, memori, dan konco-konconya ada di tataran masa lalu, sedangkan harapan, impian, ekspektasi, berada di jalur sebaliknya, masa depan. Kedua matra tersebut jika dihubungkan-hubungkan dengan hukum fisika Newton, selalu menempati pasangan aksi-reaksi. Tarik-menarik antara keduanya menyebabkan seseorang begitu saja terseret, atau secara sadar menceburkan diri, ke dalam arus waktu. Padahal waktu tidak pernah mudah ditebak. Segalanya mungkin. Jika karena bola itu bundar hingga tidak ada yang tidak mungkin dalam sepakbola, maka karena bumi itu bulat maka tidak ada yang tidak mungkin pula di dunia.


Dan mungkin, sekali lagi saya terlalu jauh mengartikan semua itu. Saya menjadi seperti kantong ajaib Doraemon yang mampu menyediakan apa saja, atau jangan-jangan merasa seperti Mesiah, sang juru penyelamat. Waduh sulit dijawab. Karena ini tentang rasa. Rasa adalah otoritas pribadi pelaku, seperti juga bagian awal tulisan ini: rasa es krim bermacam-macam, rasa kenangan lebih bermacam-macam. Sebagai pembuat tulisan ngawur ini, saya perlu menjelaskan, sekaligus untuk melengkapi janji kepada Cel, saya tidak akan menjawab pertanyaannya yang ketiga: (kenapa?) ada perasaan yang beda antara perasaannya kepada A dan B. Karena itu adalah masalah rasa. Rasa adalah otoritas pelakunya. Dalam hal ini Cel dan (mungkin) A serta B adalah pelakunya. Saya bukan pelaku dalam masalah ini. Tapi jika saya mengatakan bahwa rasa kenangan itu tidak enak, Anda bisa apa coba? Bukankah masalah rasa adalah otoritas pelakunya. Nah, di sinilah saya berperan sebagai pelaku.


***


Matahari sudah hampir sempurna tenggelam di cakrawala. Saya melihat jam, wah sudah hampir maghrib. Saya baru sadar, saya belum makan dari tadi pagi, saya belum ganti baju, bahkan saya belum sempat memutahkan air kencing yang sudah dari tadi menjerit-jerit minta tolong ingin keluar. Pak Giat mengumandangkan adzan dari mushola depan, wah, saya juga baru sadar belum mandi. Saya harus menyelesaikan tulisan ini, mandi, dan berangkat sholat Maghrib. Saya harus bergegas, sebab nanti sehabis maghrib saya sudah menjanjikan akan membalas SMS Cel. Huh..Untung saya sudah buat tulisan ini, jadi jika nanti dia tanya macam-macam, saya cuplik saja dari salah satu bagian tulisan ini. Dan untuk penutup, saya ingin menuliskan sebuah puisi yang saya buat beberapa saat setelah Cel mengirimkan SMS tengah malam pada beberapa hari yang lalu:


Merindukanmu


Merindukanmu seperti memeluk hujan

rintiknya lolos di sela-sela jari tangan


Merindukanmu seperti memeluk kabut

lembutnya sirna di tiap-tiap bisik sebut


Merindukanmu seperti memeluk kenangan

terendap diantara lika-liku jalan ingatan


(2008)


The Lost Boy:

Resta Gunawan






Lukisan senja yang tak indah


Aku laki-laki sedang belajar melukis. Beri aku warna.


Ingin kulukis hati-hati, dari hati, sebuah lanskap senja,

lengkap dengan gerombolan burung mengepak beriringan

menuju matahari yang malu hendak sembunyi, segumpal

awan, dan deretan bunga yang tumbuh di taman belakang.


Tapi inilah yang terjadi: sebuah lukisan yang tak rampung.

Betapa tak indah lukisan itu: sebuah senja yang murung.


Lihat betapa tak ada langit merah muda dan kepak burung,

tak ada pula deretan bunga yang mahkotanya beraneka rupa.

Lihat betapa hanya ada segumpal awan kelabu: seperti ingin

menumpahkan hujan berhari-hari ke lekuk-lekuk wajahku.


Beri aku warna. Kan kulukis langit lain lebih sempurna.


(2008)

Lukisan waktu


/1/

telah banyak purnama yang kita habiskan

untuk melukis langit biru dengan burung

burung terbang riang di dadanya. konon,

banyak pemburu yang mencari karya itu.

buat bekal di senja hari saat kita terlalu

malu untuk bicara perasaan. buat sepi

karena hari telah senja dan sebentar lagi

malam menjemput petang. di dini hari,

langit tidak lagi biru dan kita tak tahu

bagaimana cara melukisnya lagi. apakah

langit terlalu jenuh, rapuh. apa kita terlalu

kebal bebal untuk terbuka: bicara bahwa

perkara cinta tidak sesederhana aku suka

kamu suka dan semua akan baik baik saja.


/2/

aku lelah, Al. dan biarkanlah subuh ini angin laut

membawa berita yang luput dari liputan semalam.

sebab nyatanya masih banyak kamera yang peka

dan jujur mengatakan bagaimana sepantasnya kita

bergandengan. dekat tak selalu lekat. jauh tak selalu

luruh. tinggal bagaimana kita menyusun kembali

hari untuk disiapkan lagi. mungkin pada cuaca

selanjutnya akan ada langit yang teramat sayang

dilewatkan. dilukis dengan cat kuas kenyamanan.


(2008)


Senin, 23 Juni 2008

Rambut

Apakah model rambut Anda? Klimis seperti bos mafia? Kribo seperti Edi Brokoli? Cepak seperti tentara? Lurus panjang seperti Jarwo Naif? Gimbal seperti Bob Marley? Gondrong seperti Jerry Yan a.k.a Tao Ming Tse? Mohawk seperti anak punk? Rambut melon seperti dua personel Cangchuters? Atau malah plontos kaya semangka, alias gak ada rambut babar blas…

Saya lagi ingin bicara rambut, terkhusus rambut laki-laki. Gaya rambut perempuan mah, banyak yang standar. Paling cuma tiga model, model lurus Titi Kamal, model poni lempar Revalina S Temat, atau model bob Bunga Citra Lestari. Kalo ada yang lain-lain, misalnya model hi-lite atau harajuku atau british, itu tak seberapa.

Jika pada wanita, rambut dibilang mahkota, kalau pada laki-laki rambut dibilang apa ya? Wah, saya tidak tahu pastinya. Teman saya ada yang bilang: rambut pada laki-laki seperti topi. Sekedar aksesori agar tidak kepanasan. Anda setuju? Saya tidak. Bagaimanapun, laki-laki juga manusia, dan selama masih jadi manusia –yang normal- penampilan tetap hal yang penting. Meski kadang penampilan sering menipu. Laki-laki dengan model rambut klimis yang kalem, rapi, dan wangi sering dianggap mewakili citra laki-laki mapan, sopan, baik-baik. Padahal bisa saja dia seorang pembunuh berdarah dingin, atau parahnya: koruptor berdarah setan! Demikian pula sebaliknya. Itulah kejamnya stereotip.

Ibu saya adalah salah satu yang mempercayai stereotip itu. Penampilan, apalagi rambut bagi laki-laki, adalah cermin kepribadiannya. Suatu kali beberapa teman kuliah yang berambut gondrong-gondrong (maklum mapala) datang ke rumah. Begitu melihat penampilan teman-teman saya: rambut gondrong, pakaian semrawut, dan parahnya agak bau, saya melihat sedikit perubahan raut muka ibu. Wah, tanda-tanda nih. Dan benar saja begitu teman-teman saya pulang, kalimat pertama yang keluar dari mulut ibu: “kok koncomu sangar-sangar, cah berandalan po piye?” Mampus! Untung yang berambut gimbal belum ada yang datang ke rumah. Kalau datang, mungkin kalimat ibu akan berubah: “koncomu wong edan po piye?” Dobel mampus!!

Beberapa tahun berselang, saya sengaja tidak memotong rambut. Mumpung jadi mahasiswa, kata saya, siapa suruh dulu ketika SMA dilarang-larang. Jadilah rambut saya bergaya agak ke-Tao Ming Tse-Tao Ming Tse-an, meski muka tidak mendukung. Ancur boleh ancur, yang penting gaya. Hahaha. Lalu, gara-gara ikut mapala, saya jarang pulang, lalu jadi jarang mandi, lalu jadi berpenampilan berantakan. Dan saat itu, saya tidak malu dengan hal itu. Tidak malu dengan pandangan sinis para dosen, tidak malu dengan tatapan agak jijik yang ditahan ‘gadis-gadis mall’ di kampus, tidak malu dengan diri sendiri dalam cermin. Jika Sakhespeare mengatakan apalah artinya nama, saya mengatakan apalah artinya penampilan, apa artinya model rambut. Toh segala sesuatunya tidak serta merta bisa diukur dari situ.

Di rumah saya menjadi orang asing. Diasingkan ibu, diasingkan adik perempuan, diasingkan bulik, sementara bapak, seperti biasa, biasa-biasa saja. Saya seperti makluk Mars yang salah mendarat di Venus. “Rambutmu kuwi lho..” begitulah biasanya ibu mulai membuka pembicaraan, entah di saat sedang makan atau sedang nonton TV, dan aktifitas-aktifitas lainnya, yang terus disambung dengan: bla..bla..bla.. ceramah panjang lebar tentang penampilan rapi dan sebagainya dan seterusnya, dengan kesimpulan yang sama: persis stereotip yang saya kemukakan di atas: orang dengan model rambut aneh, penampilan kaya preman, adalah milik orang-orang nggak bener. Sambil sesekali ibu memberikan contoh dari tayangan TV: “mbok koyo artis itu. wis bagus, sopan, rambute cendak”. Wah, television sindrom, saya membatin, tidak berani ngomong, takut kualat. Akhirnya saya hanya diam saja dan sesekali senyum-senyum dan sesekali pula berkata: “sesuk dipotong..” Tanpa memberikan waktu yang jelas. Besok kan bisa berarti sehari lagi, seminggu lagi, sebulan lagi, bertahun-tahun lagi. Demikian pula dengan perlakuan adik dan tante saya. Bahkan mereka bersepakat memberikan julukan baru kepada saya: luwak. Luwak adalah binatang sejenis kucing alas yang makan biji-bijian, dan yang jelas: jarang mandi dan tidak pernah cukur rambut!

Meminjam pernyataan salah satu teman psikologi: saya sedang kena stempel pengucilan bersayarat. Artinya, saya dikucilkan sementara karena suatu sebab, dan mungkin pengucilan itu akan dicabut begitu saya mencabut sebab itu. Dalam hal ini, rambutlah penyebabnya. Menghadapi hal itu, saya mencoba melawan, meski tidak frontal. Nek ra ngeyel, dudu wong enom, begitulah almarhum kakek saya pernah bilang.

Suatu kali, artis yang sempat dijadikan contoh oleh ibu ditangkap polisi karena kasus narkoba. Penampilannya necis, rapi, dan rambutnya cepak. Dalam hati saya tersenyum gembira, sambil mengeraskan volume TV agar ibu mendengar berita tersebut. Wah, saya bakalan menang, bisik saya dalam hati. Dan ibu memang melihat berita tersebut, tapi dia cuek saja. Wah..wah..curang. Saya pun tidak berani mengungkit-ungkit masalah tersebut. Mungkin dalam hatinya ibu tahu saya sedang berusaha menunjukkan berita tersebut sebagai bukti bahwa penampilan dan gaya rambut tidak selalu berbanding lurus dengan moral dan kelakuan. Meski penampilan serapi apapun, jika hatinya busuk, ya tetaplah sampah.

Setelah kejadian itu, ibu mulai jarang membahas mengenai rambut lagi. Wah benar dugaan saya, ibu mulai berpikir penampilan tidak selamanya mencerminkan sikap hidup seseorang. Hore, saya menang, sorak saya, lagi-lagi dalam hati. Akhirnya kekeraskepalaan anak laki-laki yang yakin benar bisa juga meluluhkan hati orang tua. Hehe..

Sekarang saya berambut pendek, tapi masih sedikit awut-awutan karena tidak pernah kena sisir. Tapi setidaknya tidak ada ganjalan mengenai rambut lagi antara saya dengan ibu dan perempuan lainnya di rumah. Akhirnya kami kembali lagi dari Mars dan Venus menuju Bumi. Penjelajahan yang menyenangkan, pikir saya. Kemudian seorang teman di kampus bertanya: “lalu kenapa rambutmu dipotong”. Saya tidak menjawab jelas, lebih mirip gumaman tepatnya. Cerita sebenarnya adalah seperti ini: saat itu saya sangat butuh uang, dengan terpaksa saya bilang ke bapak minta uang tambahan, bapak bilang minta ke ibu karena ibu yang pegang uang, dan inilah jawab ibu: “tak kei duit 300rb, ning potong rambut”. Wah ternyata perang belum usai, dan kali ini saya mesti menyerah kalah. Apa boleh buat, idealisme mengenai rambut terpaksa saya lego dengan uang 300rb. Yah mau bagaimana lagi, saya tidak mau pinjam uang, tidak mau mencuri, apalagi merampok. Nanti bisa-bisa stereotip tentang orang berambut gondrong itu preman benar-benar benar adanya. Wah..gawat.

Oh ya saat ini saya lagi senang dengan dua acara TV: Kick Andy dan talkshownya Wimar Witoelar, sekaligus senang dengan lagu-lagu Nidji. Dan kebetulan ketiga-tiganya memiliki ciri rambut kribo. Apakah saya kali ini harus mengubah gaya rambut saya ke kribo? Wallahualam.

The Lost Boy:

Resta Gunawan